Senin, 23 Agustus 2010

Lelaki Berambut Perak dan Puisi Tanpa Emosi

Ditulis oleh Billy Antoro, tanggal 23-08-2010

undefined Sapardi Djoko Damono saat memberikan "kuliah", Ahad (22/8).

Depok (Mandikdasmen): Lelaki berambut perak itu duduk memunggungi dinding kuning yang memantulkan deretan kata dari infocus yang berdiri miring di tengah ruangan. Ia tidak sedang menghadapi mahasiswa calon doktor di ruangan dingin di sebuah kampus terkenal negeri ini. Di hadapannya, duduk di atas karpet dengan saksama, orang-orang biasa dari berbagai profesi; guru, buruh pabrik, penulis, editor, wartawan, pekerja kantoran.

Dialah Sapardi Djoko Damono, maestro penyair yang sangat terkenal dengan puisinya berjudul ‘Aku Ingin’. Ahad pagi 22 Agustus 2010 di Rumah Cahaya, Depok, Jawa Barat, ia membagi ilmunya ihwal bagaimana mengapresiasi puisi.

Untuk bisa menjadi penulis puisi yang baik, kata Sapardi, tidak boleh emosional. Sebab orang yang emosional sentimental dan cengeng. Saat menulis puisi, upayakan emosi dilepas dan menjadi orang di luar emosi. “Sehingga emosi Saudara bisa masuk ke dalam tulisan,” ujarnya. “Jangan sampai kecengengan itu masuk ke dalam puisi.”

Sapardi mengkritik puisi-puisi yang bertaburan di koran dan buku. Kebanyakan emosional dan cenderung cengeng. Itu terjadi lantaran sang penulis tak mampu mengendalikan emosi.

Sapardi mengambil contoh puisi penyair asal Brasil Manuel Bandeira (1886-1968) bertajuk ‘Sajak Berdasarkan sebuah Berita di Koran’. Begini isi puisi itu:


Si John Periang adalah seorang pesuruh di Pasar Petani dan tinggal di
Bukit Babilonia dalam sebuah gubuk yang tak bernomor
Pada suatu malam ia pergi ke Warung Dua Puluh November.
Ia minum
Ia menyanyi
Ia menari
Kemudian ia menceburkan diri ke dalam Telaga Rodrigo de Freitas
Dan tenggelam


Sapardi memuji puisi ini. Di negerinya, puisi ini mendapatkan bermacam-macam penghargaan. “Itu seperti ditulis di koran. Tidak ada emosi. Tidak ada rasa kasihan pada John. Pokoknya ditulis saja,” ujarnya.

Lalu bagaimana jika puisi itu disusun seperti ini:

Si John Periang adalah seorang pesuruh di Pasar Petani dan tinggal di Bukit Babilonia dalam sebuah gubuk yang tak bernomor. Pada suatu malam ia pergi ke Warung Dua Puluh November. Ia minum, ia menyanyi, ia menari. Kemudian ia menceburkan diri ke dalam Telaga Rodrigo de Freitas dan tenggelam.


Setelah disusun ulang, puisi itu seperti tulisan berita. Dan memang itulah sebuah berita yang ditulis ulang oleh Manuel Bandeira. Dalam buku teranyarnya bertajuk Bilang Begini, Maksudnya Begitu, Sapardi Djoko Damono mengomentari puisi itu yang tercantum dalam bukunya. Begini komentarnya, “Kalau benar bahwa sajak ini didasarkan pada sebuah berita di koran, kita bisa menarik kesimpulan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang hakiki antara berita dan cerita, antara fakta dan fiksi.” (hal. 3)

Semua berita di koran itu, tulisnya kemudian, fiksi adanya: suatu peristiwa yang ditulis menjadi sebuah berita selalu dilihat dari suatu sudut pandang tertentu oleh yang melaporkannya dan ketika menuliskannya ia sedikit-banyak menyertakan pandangan atau pikirannya atau perasaannya tentang peristiwa tersebut. (hal. 4) “Jadi kalau Saudara memilih berita koran yang bagus, yang tidak ada emosinya, saudara potong-potong, jadi sajak,” tegasnya. “Sajak itu berita yang disampaikan kepada orang lain.”

Namun sejatinya Manuel Bandeira menyusun sajaknya seperti itu; disusun menjadi larik-larik. Jika susunannya disatukan, takkan elok jika disebut sebagai berita koran. Sebab berita ditulis secara penuh, tidak dengan larik. Tak pula ditulis dengan penggunaan kata ‘ia’ berulangkali lantaran tidak efisien.

Kelebihan puisi ini adalah kesederhanaan dalam penceritaannya. Kebiasaan orang barat, jika frustasi pelariannya mabuk. Dalam mabuk ia menari, sempoyongan, nyebur telaga, tenggelam, lalu mati.

Namun dari sajak ini orang akan menaruh belas kasihan pada Si John: ia periang, kok bisa mati seperti itu? Pasti ada sesuatu di baliknya. “Nah, interpretasi Saudara itulah yang menentukan puisi ini,” jelas Sapardi.

Kendati isinya seperti itu, tetapi maksudnya tidak sekadar menunjukkan nasib Si John. Melainkan menunjukkan simpati yang luar biasa kepada orang kecil. “Si John orang miskin. Di Pasar Petani saja ia pesuruh. Hidupnya barangkai memang sangat menderita sehingga ia harus mabuk-mabukan supaya lupa,” terang Sapardi.

Ulasan berikutnya puisi Cina klasik karangan Wang Wei (699-759). Wang Wei merupakan salah satu dari tiga penyair besar Cina dari Dinasti Tang. Begini sajaknya:


Gerimis pagi membasahi debu putih,
Warung-warung menghijau, pohonan wu-t’ung berbunga,
Sebaiknya kau habiskan segelas anggur lagi,
Di sisi barat Bukit Yuan Kuan tak ada teman akan kautemui.


Sekali lagi di puisi ini tiada emosi. Pada larik ke-3 dan ke-4 puisi ini, penyair bercerita tentang seseorang yang bicara dengan tamunya. Ia menyuguhinya minuman. Tamu hendak bepergian jauh. Sebagai rasa empatinya, orang itu berkata pada tamunya:

Sebaiknya kau habiskan segelas anggur lagi,
Di sisi barat Bukit Yuan Kuan tak ada teman akan kautemui.

Puisi ini empatif. “Menunjukkan keramahan dan kebesaran hati seorang teman kepada tamunya yang akan menjalani perjalanan jauh,” jelas Sapardi Djoko Damono.

Cara penceritaannya juga sederhana sekali. Metafora digunakan, yaitu saat menyamakan warung dengan pohon:

Warung-warung menghijau

Pohon wu-t’ung, kata Sapardi, seperti pohon beringin tapi ada bunganya. “Kalau Saudara membayangkan itu, Saudara membayangkan sebuah pemandangan yang indah di desa itu,” ucapnya.


Sapardi Djoko Damono juga membahas puisi karya Taufik Ismail bertajuk ‘Tentang Sersan Nurkholis’. Begini puisi itu tertulis:


Seorang sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu

Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji

Sekali datang
Teman-temannya
sudah orang resmi

dengan senyum ditolaknya
kartu anggota
bekas pejuang

sersan Nurkholis
kakinya hilang
di zaman Revolusi

setiap siang
terdengar siulnya
di bengkel arloji


Taufik Ismail berkisah tentang nasib orang tapi tidak cengeng. Tiada emosi. Ia hanya bercerita. Ada seorang pejuang yang kakinya hilang, tidak mau dianggap sebagai bekas pejuang dan memilih jadi tukang arloji. Hidupnya bahagia karena setiap hari bersiul.

Sajak semacam itu, kata Sapardi, akan terus dikenang orang. Yang terpenting, dalam sajak, pembaca tidak digurui dan dipaksa penyair untuk memahami syair dengan pemaknaan tunggal. “Saudara sendiri yang menciptakan makna itu. Saudara sendiri yang mereka-reka, mengarang,” katanya. “Saudara diberi kebebasan untuk menafsirkan.”

Untuk belajar dan mengajari anak menulis puisi, Sapardi Djoko Damono tidak menyarankan melakukannya dengan mempelajari banyak teori penulisan puisi. Berikan saja buku puisi dan mintalah mereka membacanya, katanya. Ia sendiri belajar puisi sejak SMA dan banyak membaca buku-buku puisi para penyair seperti W.S Rendra.

Sapardi Djoko Damono dosen di Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Seabrek penghargaan diterimanya. Ia lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Kendati usianya tak lagi muda, ketangkasannya meramu kata masih perkasa. Pada 2009 ia mengeluarkan kumpulan puisi berjudul ‘Kolam’.

Kuliah singkat bersama lelaki berambut perak itu bagian dari rangkaian acara Buka-Sahur Sastra yang digelar dua hari (21-22 Agustus 2010) oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Jakarta Raya. Moderatornya penyair muda Epri Tsaqib. Acara diikuti oleh para aktivis dari FLP Cabang Ciputat, Depok, Bekasi, Bogor, Karawang, dan Jakarta. Acara lainnya yaitu seminar sastra ‘Membumikan Sastra Profetik’ bersama sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda dan Denny Prabowo, Parade Peluncuran Karya se-FLP Wilayah Jakarta Raya, Training of Trainer bersama Arulkhan, dan Tadarus Sastra.
Share This
Subscribe Here

0 komentar:

Posting Komentar

Mitra Kami

Photobucket Photobucket Photobucket
 

Followers

Photobucket

Rumah Cahaya FLP Copyright © 2009 BeMagazine Blogger Template is Designed by Blogger Template
In Collaboration with fifa