Jumat, 09 Desember 2005

Perjalanan ke Rumah Cahaya Pekalongan

Oleh Leyla Imtichanah
Jumat, 9 Desember 2005


Sore itu, langit di Depok mendung. Maaf, sepertinya malah sudah turun hujan. Syukurlah, cuaca yang kurang menyenangkan itu, tidak menghalangi langkah lima orang utusan dari Rumah Cahaya, untuk berangkat ke Pekalongan. Padahal sebenarnya kalau mau menuruti kata hati, rasanya berat… sekali. Kelima orang utusan itu punya beban tersendiri.

Andi Birulaut, utusan dari Rumah Cahaya Pusat, misalnya. Beliau ingin berangkat dengan kereta, yah meskipun hanya dengan kereta ekonomi. Namun, ternyata beliau dan temannya, Tarjo, utusan dari Rumah Cahaya Penjaringan, ketinggalan kereta (ekonomi). Mau tidak mau, mereka harus naik bus. Padahal kabarnya, Andi Birulaut tidak begitu menyukai aroma bus yang membuat mual.

Nanik Susanti, utusan dari Rumah Cahaya Depok, juga merasa agak berat berangkat ke Pekalongan. Kondisi kesehatannya sedang kurang baik. Dengan berbagai penyakit yang melingkupinya. Pusing, mata berkunang-kunang, plus batuk kering yang pasti muncul kalau terkena angin atau udara dingin. Beberapa hari sebelumnya, dia memeriksakan tensi darah, dan terkejut mendapati tensi darahnya naik. Darah tinggi…?! Seumur-umur, baru kali itu Nanik Susanti terkena darah tinggi. Biasanya, tekanan darahnya normal. Untunglah ternyata setelah dicek, belum termasuk darah tinggi, baru pra. Tapi… tetap saja mengkhawatirkan, kan?

Leyla Imtichanah, utusan dari Rumah Cahaya Pusat, tidak terlalu punya beban yang memberatkannya, kecuali cuma rasa malas. Si Leyla ini memang paling tidak suka bepergian jauh. Sudah terbayang repotnya. Meskipun cuma satu hari dan tidak menginap, bawaannya pasti berat. Belum kalau ada yang terlupa. Belum saat di perjalanan. Tidur di bus dalam kondisi duduk, pasti tidak enak. Belum kalau mau buang air kecil, mesti ditahan sampai pemberhentian berikutnya. Itu pula yang menyebabkan dia jarang pulang, ketika masih kuliah di Semarang. Ditambah lagi, Jumat itu dia memakai baju putih-putih (cuma karena mau matchingin dengan sepatu kets pink-nya). Terbayanglah betapa rok putih itu akan kotor terkena percikan tanah). Wah, Leyla manja banget, ya.... Tapi Leyla menyadari, tanpa kehadirannya, rombongan itu pasti akan “sepi.”

Denny Prabowo, utusan dari Rumah Cahaya Depok, sebenarnya paling antusias dalam perjalanan ke Pekalongan ini. Namun, setelah tahu bahwa dia harus membawa dua kardus berisi buku yang sudah tentu berat, dia kebingungan sendiri. Wah... siapa yang bisa bantuin gue, nih? pikirnya. Sebelumnya memang direncanakan, kelima orang itu akan berangkat bersama-sama, tetapi ternyata karena ada sesuatu hal, mereka harus terpisah. Andi Birulaut dan Tarjo baru berangkat selepas Isya, sedangkan Denny Prabowo, Nanik Susanti, dan Leyla Imtichanah berangkat lebih dulu selepas Magrib. Tidak mungkin kan mengandalkan Nanik Susanti yang sedang tidak enak badan, dan Leyla Imtichanah yang bawaannya sendiri saja sudah berat? Satu tas besar berisi pakaian dan peralatan wanita (padahal cuma satu hari dan tidak menginap!), dan satu tas kecil berisi makanan. Untunglah ada Hadi, kru Rumah Cahaya Depok, yang mau membantu membawakan meskipun hanya sampai agen bus. Alhamdulillah, terima kasih, Hadi....

At last, rombongan itu berangkatlah. Kali ini saya bercerita dari sudut pandang Denny Prabowo, Nanik Susanti, dan Leyla Imtichanah. Ketiga orang itu naik bus AC Ekonomi. Dananya memang terbatas. Kalau kurang, ditanggung sendiri. Nanik Susanti sebenarnya malas sekali naik bus. Seperti juga Andi Birulaut, dia selalu merasakan mual setiap kali mencium aroma bus. Pasti muntah. Pasti pusing. Pasti kliyeng-kliyeng. Ternyata, oh ternyata, tidak sebegitunya amat. Nanik Susanti kemudian merasakan bahwa naik bus ternyata juga menyenangkan.

Tak berapa lama, Andi Birulaut menelepon Leyla Imtichanah. Mengabarkan kalau dia baru bisa berangkat selepas Isya dan mungkin sampai di Pekalongan jam tujuh pagi. Belakangan Leyla tahu, kondisi Bang Andi lebih buruk lagi. Dia naik bus ekonomi (kayaknya sih non AC), sebab, di bus itu semua orang merokok. Wah, tersiksa banget, kan....

Sampai jam sembilan (kira-kira), Denny, Leyla, dan Nanik, masih menikmati perjalanan dengan ngemil dan ngobrol. Tak lama, Leyla tertidur. Denny dan Nanik masih mengobrol. Sayup-sayup Leyla mendengar tema obrolan mereka, tapi kemudian menghilang seiring dengan semakin nyenyaknya dia tidur. Berhubung Leyla tertidur, cerita tidak dapat dilanjutkan J Pokoknya, tahu-tahu sekitar jam setengah dua belas, bus berhenti di sebuah rumah makan. Saat itulah Leyla tahu kalau ternyata itu sudah pemberhentian yang kedua.

Jam dua belas malam, bus berangkat lagi. Tidur mereka tak lagi nyenyak, karena belum juga tertidur, mereka harus pindah bus! (ini yang paling tidak menyenangkan kalau naik bus). Semua bingung. Bagaimana cara membawa dua kardus yang berat itu, sementara supir bus sudah teriak-teriak menyuruh turun? Kalau mau dijabanin, bisa saja sih diladenin tuh omelan. Siapa yang takut...? But, masalahnya, kalau dijabanin, nanti ketinggalan bus pengganti. Tambah repot, kan? Akhirnya, Denny mengeluarkan tenaga ekstra guna mengangkut kardus itu. Leyla dan Nanik cuma membatin, aduh, kasihan deh kamu, Den. Tapi gimana lagi? Kita nggak bisa bantu..... Kesannya useless banget, ya?

Akhirnya... sampai juga di Pekalongan, jam setengah empat pagi. Tak lama, rombongan FLP Pekalongan datang menjemput. Aveus Har, Yossy Maylani, Nikmah Maula, N. Dien, Eko, dan... (aduh... satu lagi lupa. Kebiasaan, deh!). Yang cowok bonceng yang cowok, yang cewek bonceng yang cewek. Inilah perbedaan perempuan Jakarta dengan perempuan Pekalongan (atau daerah pada umumnya). Di Jakarta, susah sekali mendapatkan perempuan yang bisa mengendarai motor. Alasannya, angkot banyak, bus apalagi. Di Pekalongan sebaliknya. Mari kita perkenalkan Yossy Maylani, si mantan racer yang kalau mengendarai motor bisa sampai 80 Km/ Jam. Leyla yang selalu berjodoh dengannya dalam naik motor, hampir saja terbang terbawa angin dan harus berpegangan dengan Yossy, biar kalau jatuh sama-sama J. Bang Andi juga bilang, “ada yang naik motornya pelan-pelan, nggak?” Wah... nggak nyangka deh. Ternyata Bang Andi selain tidak bisa naik motor, juga tidak mau naik motor yang ngebut!

Dan begitulah. Mereka menginap di rumah Paklik Yossy yang sangat ramah dan baik hati. Rumah itu jugalah yang menjadi markas Rumah Cahaya Pekalongan. Subhanallah! Rumah itu sangat sederhana. Dengan dinding dari bambu, lantai ubin, penerangan sederhana, air harus nimba, buang air besar di kebun (perkiraan saja, sih, soalnya kami tidak pernah tahu di mana WC-nya. Kalau mau ke WC, harus menumpang di rumah saudara Yossy lainnya).

Tetapi justru kesederhanaan itulah yang membuat orang-orang betah tinggal di sana. Rumah itu memang sangat ramah dan terbuka. Setiap hari anak-anak datang membaca buku, malam hari gantian bapak-bapak yang main catur di terasnya. Dua minggu sekali, anak-anak FLP Pekalongan datang untuk berdiskusi tentang kepenulisan. Siapa saja boleh datang dan Paklik Yossy sekeluarga tidak pernah keberatan. Paklik Yossy selalu menekankan untuk menjadikan rumah itu seperti rumah sendiri. Ini bukan basa-basi. Semua orang memang tidak sungkan memasuki rumah itu, bahkan menumpang mandi, dan Subhanallah! Paklik Yossy sama sekali tidak merasa berat ketika harus menimba untuk mengisi bak mandi yang kosong. Khusus untuk menyambut utusan Rumah Cahaya, beliau memotong ayam kampung peliharaan sendiri!

Usai berbincang-bincang sejenak, jam setengah lima pagi, semua mengerjakan rutinitasnya masing-masing. Salat Subuh, mandi, dan tidur sejenak. Jam tujuh pagi, sambil menunggu Andi Birulaut dan Tarjo datang, Yossy Maylani (ketua RC Pekalongan) dan Eko (ketua FLP Pekalongan), mengajak Leyla, Denny, dan Nanik, berjalan-jalan ke pantai. Kata Paklik Yossy sih, jaraknya cuma 7 kilo, tapi setelah dijabanin... ternyata jauh juga. Naik motor lagi. Tangan Nanik sampai kram karena berpegangan di bawah motor. Dan memang, ke mana-mana kami selalu naik motor. Tentu saja itu menyenangkan. Siapa yang bilang tidak? Melihat pantai yang betapa indahnya, Nanik Susanti merenung di atas batu. Terlihat sangat dewasa. Tapi begitu hendak difoto oleh Denny, dia segera mengeluarkan senyum imutnya yang childish.

Leyla sangat senang karena Yossy dan Eko tak henti-hentinya memotretnya. Maklum, baru sekalinya itu ketemu seleb J. Yossy dan Eko agak terheran-heran menghadapi the real Leyla yang narcis abis. Kemudian melihat foto digital mereka. Lho, kok isinya foto Leyla semua, ya? Baru sadar mereka.

Jam sembilan pagi, mereka pulang ke rumah Paklik Yossy. Bang Andi menelepon Leyla, katanya sudah sampai. Minta tolong dibelikan makanan dan coffemix. Kata Yossy, sudah ada coffemix di rumah. Leyla menekankan, harus coffemix! Kalau nggak, Bang Andi pasti nggak mau. Ternyata memang coffemix, tapi tetap saja salah. Harusnya Nescafe, bukan ABC. Wah...!

Jam sepuluh pagi, serah terima bantuan dari Rumah Cahaya Pusat ke Rumah Cahaya Pekalongan. Semoga bisa menambah koleksi buku di Rumah Cahaya Pekalongan yang subhanallah, baru ada satu rak saja! Ada satu rak lagi yang masih nggangur karena belum ada satu buku pun yang nangkring di atasnya. Duh... rasanya tak sia-sia datang ke Pekalongan. Benar kata Bang Andi, keadaannya memprihatinkan. Tetapi semangat para pengelolanya, patut diacungkan jempol. Rumah Cahaya Pekalongan memang benar-benar harus ada. HARUS! Bayangkan, jangankan perpustakaan, toko buku saja sulit ditemui di Pekalongan. Jadi, wajar saja kalau anak-anak FLP Pekalongan kurang bisa meng-update buku-buku yang baru terbit.

Setelah serah-terima bantuan, kami pun membongkar isi kardus berisi buku, untuk bahan bacaan dua anak SMP yang sedang ngendon di RC Pekalongan. Sekadar informasi, dua anak SMP itu baru pertama kalinya datang ke RC. Kami bertemu mereka di pantai. Rupanya mereka sedang bolos sekolah. Eko mengajak mereka ke RC untuk diwawancarai kenapa mereka bolos sekolah. Eko memang sedang ada proyek membina anak-anak bermasalah, contohnya ya kedua anak SMP yang suka bolos sekolah itu. Kedua anak SMP itu terlihat sangat antusias membaca buku-buku di RC. Bahkan satu anak mengambil lima. Apalagi RC Pekalongan memang memperbolehkan peminjaman buku untuk dibawa pulang.

Jam setengah sebelas, acara kosong. Kedua anak SMP itu sudah pulang. Sedangkan acara ngobrol bareng anak-anak FLP Pekalongan baru diadakan jam satu siang. Apalagi anak-anak FLP Pekalongan memang belum datang. Acara kosong itu pun dimanfaatkan untuk berjalan-jalan mengelilingi Kota Pekalongan, dari monumen sampai pasar grosir batik. Leyla niatnya mau beli batik, tapi setelah mengitari pasar itu, ternyata tidak ada yang dibeli satu pun. Habis, waktunya cuma satu jam. Lumayanlah. Setidaknya sudah melihat batik Pekalongan itu seperti apa sih. Ternyata sama saja dengan yang di Jakarta. Malah harganya lebih murah di Jakarta. Mungkin karena kami wisatawan kali, ya, jadinya dimahalin.

Dari pasar grosir, jam satu siang, kami ngobrol-ngobrol dengan anak-anak FLP Pekalongan yang mulai berdatangan. Mereka banyak bertanya tentang kepenulisan dan penerbitan. Guntur, salah satunya. Pengurus RC Pekalongan ini rupanya masih terbilang awam dalam hal kepenulisan dan penerbitan. Dia bertanya, kenapa menulis cerpen itu susah banget, berapa royalti yang diterima penulis, dan kenapa cerpen dia nggak lolos antologi cerpen lucu? Dia sedih banget karena nggak lolos. Dia juga bertanya, editor itu pekerjaannya apa sih? Apakah boleh kalau naskah tidak diedit? Kenapa sih editor sukanya memotong isi cerita orang? Dll. Leyla yang kebetulan menjadi tempatnya bertanya, hanya senyum-senyum. Maksudnya, tersenyum sambil menjawab. Kalau senyum-senyum doang, tebar pesona, dong!

Di lain tempat, maksudnya, tidak jauh dari tempat Leyla dan Guntur ngobrol, Nanik Susanti juga sedang menjelaskan hal yang sama kepada anak-anak FLP Pekalongan yang berkumpul mengitarinya. Mereka terlihat antusias menyimak uraian Nanik dan berebut meminta nomor HP Nanik. Dengan malu-malu Nanik, menjawab, “nomornya sih ada, tapi hp-nya nggak ada. Sudah saya jual. Pake nomor Ela aja, ya?” hiks!

Jam empat sore, acara diskusi bersama FLP Pekalongan, usai. Selanjutnya mereka menuju ke rumah NR. Ina Huda dan Khairul Huda, pasangan penulis. Rumah mereka jauh banget. Perjalanan satu jam kurang dengan naik motor berkcepatan 80 Km/ Jam. Meskipun menegangkan (jalan yang berliuk-liuk, maklum, naik ke gunung), tetap mengasyikkan. Apalagi Mbak Ina dan Pak Khairul sangat ramah menyambut kami. Tidak menyangka, di usianya yang ke-43 (kayaknya), Mbak Ina masih terlihat muda dan segar. Mungkin karena senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya. Orangnya juga ramai sekali, dan pintar bikin kue. Pulangnya, kami dibawakan kue buatannya yang tertinggal di bus (sayang banget... rezeki supir busnya, tuh!). Mbak Ina cerita, kalau mau menelepon atau menerima telepon, dia harus naik ke atas pohon dulu, baru dapat sinyal.

Jam setengah enam sore, kami pulang ke rumah Paklik Yossy. Semua serba buru-buru karena kami harus mengejar bus jam setengah delapan. Di Pekalongan kalau sudah di atas jam delapan, sudah tidak ada bus (katanya, lho. Nggak yakin banget, sih!). Alhamdulillah, kami berhasil mendapatkan bus, meskipun harus menempuh perjalanan jauh ke Comal (Pemalang). Sedih rasanya harus berpisah dengan anak-anak FLP dan RC Pekalongan yang penuh semangat. Kami tidak sempat menginap, meskipun sudah dipaksa-paksa. Bang Andi yang sebenarnya mau ke rumah orang tuanya di Purwokerto (kayaknya, agak lupa, nih), terpaksa ikut pulang bersama Leyla, Denny, dan Nanik. Niatnya sih mau melindungi Leyla dan Nanik, tapi di perjalanan selalu bilang, “Aduh... gara-gara Ela sama Nanik, nih....” Nanik yang kesal, bilang,” ya udah, Bang. Turun aja, deh.” Padahal itu sudah setengah perjalanan!

Keletihan membuat semua tertidur dalam perjalanan pulang.

Nanik Susanti, ternyata perjalanan ini menyenangkan. Benar-benar menghilangkan stres. Aku nggak capek sama sekali, lho. Mungkin karena udah rutin jogging tiap hari. Nggak sabar nunggu ke Bandung minggu depan (kali ini untuk acara Lingkar Pena Publishing di Fak Sastra Unpad). (Padahal sesampainya di RC Depok, dia “tewas” sampai jam delapan pagi!)

Leyla Imtichanah kirain bakal ngebetein, ternyata asyik juga. Minggu depan aku ikut ke Bandung juga deh, Mbak. Em... tapi.... (pengen belanja di Factory Outlet, tapi ada yang mau nemenin nggak ya? Kayak di Pekalongan. Trus lagi, pilih the last atau the future, ya? Soalnya minggu depan ada acara lain yang akan menentukan masa depannya. Deu....).

Andi Birulaut *Groak! Groak!* Menumpang tidur di RC Depok. Kata Eni (penjaga RC Depok), bangunnya baru sore hari, terus langsung ke Indonesia Book Fair. Heran, kok bisa ya? Padahal di sebelah, ada dua tikus mati yang baunya bikin Eni muntah-muntah dan Koko (ketua FLP Depok) ngomel-ngomel karena kebagian buang tikus.

Denny Prabowo Nggak tau kabarnya, karena pulang ke rumahnya sendiri. Jam sebelas baru nongol lagi di RC Depok dengan mata merah. “Mau ke book fair. Duh... aku ada rapat (FLP Depok), lagi!”

Yang pasti, perjalanan ini tentu sangat melelahkan. Tetapi sungguh, tidak terasa sama sekali keletihan itu. Yang ada adalah kepuasan karena bisa melihat sendiri kondisi RC Pekalongan sehingga semakin memotivasi kami untuk memberikan “lebih.”

Sebenarnya, kalau mau, kami bisa saja mengirimkan bantuan lewat pos dan transfer bank. Toh, biayanya sama saja dengan perjalanan ke Pekalongan. Tapi kami ingin melihat sendiri keadaan di sana supaya lebih yakin dan semangat. Semangat teman-teman di Pekalongan benar-benar menular kepada kami. Mereka yang berada di dalam keterbatasan saja bisa terus semangat, mengapa kami tidak?

Semoga RC Pekalongan semakin berkembang. Sekarang ini baru ada fasilitas beberapa buku yang tidak banyak dan dua rak buku. Tempat masih menumpang yang kemungkinan bisa dipindah lagi. Fasilitas lainnya, nonsense! Yah... semoga....

Terima kasih kepada teman-teman RC dan FLP Pekalongan yang sudah menyambut kami dengan sangat ramah. Maaf, kalau kami agak-agak merepotkan.

--Eko
--Yossy Maylani
--Aveus Har
--N. Dien (mau menikah nih, tanggal 19 Desember!)
--Nikmah Maula
--NR. Ina Huda
--Khairul Huda
--Karniti
--Bang Sat(ria)/ Hanafi
--Guntur
--Vi’s
--Sochibah
--dll (maaf ya kalau terlewat. Memori terbatas).
--terakhir, tentu saja, keluarga Paklik Yossy yang ramah dan baik hati.
Share This
Subscribe Here

0 komentar:

Posting Komentar

Mitra Kami

Photobucket Photobucket Photobucket
 

Followers

Photobucket

Rumah Cahaya FLP Copyright © 2009 BeMagazine Blogger Template is Designed by Blogger Template
In Collaboration with fifa