Rabu, 31 Maret 2010

Cahaya Itu Bernama Rumah Baca









Oleh Dhinny el Fazila
Ketua Dept. Dokuminfo Rumah Cahaya FLP

Hari ini, kapitalisme seperti telah mencengkeram dunia. Bukan hanya di kota-kota besar, tapi juga di kota-kota kecil. Bukan hanya dalam bidang ekonomi, bahkan hingga ideologi. Tak perlu jauh-jauh mencari bukti. Di sebuah kota suburban, di pinggir kota Jakarta, sebuah kota bernama Depok telah memiliki satu mall, satu plaza, satu town square, satu ITC, Carrefour, yang akan disusul satu square lagi. Itu baru di jalur utama di sebuah jalan bernama Margonda. Belum lagi pasar-pasar yang tersebar yang tak terhitung jumlahnya.

Bagaimana dengan tata ruang kota? Wassalam. Yang penting semua senang, semua “menang”. Proyek lancar, uang mengalir. Sudah tak jadi urusan apakah di daerah itu layak dibangun sebuah bangunan atau tidak, apakah harga tanah yang diberikan pada penduduk setempat yang tergusur layak atau tidak, atau apakah pusat perbelanjaan tersebut benar-benar dibutuhkan masyarakat atau tidak. Atau jangan-jangan malah tidak bermanfaat sama sekali bagi masyarakat sekitar bahkan memberikan banyak dampak negatif. Tapi sekali lagi, inilah wajah ekonomi kita hari ini. Benar-benar tak peduli dampak dari apa yang dibuatnya, yang penting meraup untung sebanyak-banyaknya.

Tak bisa dipungkiri, dampak negatif jelas banyak. Apalagi yang bisa dihasilkan, dari mall-mall, plaza-plaza, dan town square-town square yang berjejer itu selain dari generasi muda yang semakin hari semakin konsumtif. Hedonisme jadi gaya sehari-hari remaja masa kini. Sepertinya dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki tak boleh lepas dari balutan asesoris dan make up. Kalau mau trendi, ya harus punya modal. Siswa pintar jadi tidak lebih menonjol daripada siswa modis. Ajang-ajang pemilihan supermodel yang katanya tetap memerlukan “brain” pun tetap saja menjadikan penampilan sebagai penilaian utama. Jadi, benarkah cantik lebih penting daripada pintar?

Rasanya tidak. Mau dibawa ke mana bangsa ini kalau semua generasi mudanya hanya memikirkan tetek bengek penampilan? Kalau presiden dipilih hanya karena dia ganteng, mau jadi apa negara ini? Sudah saatnya kita mengembalikan generasi muda kita, pewaris peradaban ini, kepada kualitas yang sesungguhnya. Kualitas iman, kualitas pemikiran, kualitas akhlak dan hal-hal penting lainnya selain sekedar fisik belaka. Dan untuk menumbuhkan semua itu, rasanya ada banyak hal yang harus kita tanamkan pada rekan-rekan kita, adik-adik kita, dan orang-orang tua kita. Salah satunya adalah menumbuhkan kembali minat baca yang kian hari kian pudar. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah berbunyi “Iqra”, yang berarti “bacalah” Bahkan perintah pertama yang diturunkan Allah kepada RasulNya adalah membaca. Karena membaca adalah langkah awal kita untuk berbuat sesuatu. Bagaimana kita akan memberi sesuatu kalau kita tidak tahu sesuatu, dan bagaimana kita akan tahu sesuatu kalau kita tidak membaca.

Sekarang masalahnya, bagaimana menumbuhkan kembali minat baca yang telah lama terkubur itu. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang semestinya memiliki fungsi itu, rasanya saat ini belum mampu untuk menangani lemahnya minat baca para siswa. Lihat saja, perpustakaan sekolah sangat jarang dikunjungi. Kalaupun ada yang datang, perlu dilihat lagi, buku apa yang dibacanya. Moga-moga memang benar-benar buku yang layak dibaca. Tapi kebanyakan siswa-siswa memilih komik untuk di baca di perpustakaan. Tak salah sebenarnya kalau mereka memilih komik untuk dibaca, karena bagi mereka hanya itu yang menarik. Masalahnya adalah bagaimana agar buku-buku yang mendidik itu juga menarik untuk mereka baca.

Saat ini telah banyak pihak yang mencoba melakukan hal tersebut. Mencoba mengembalikan minat baca anak-anak dan remaja. Mencoba mendukung fungsi sekolah untuk mendidik anak-anak dan remaja. Mereka mendirikan rumah-rumah dan taman-taman bacaan bagi anak-anak. Mencoba membuat program-program yang menarik namun tetap mendidik untuk merebut perhatian anak-anak dan remaja. Berbagai acara digelar, mulai dari dongeng, pelatihan menulis, diskusi tentang buku bacaan dan lain-lain. Sebut saja perpustakaan Rumah Dunia yang dimotori penulis ternama Gola Gong, perpustakaan Rumah Cahaya yang didirikan sebuah organisasi pengkaderan penulis Forum Lingkar Pena yang dimotori Helvy Tiana Rosa dkk, 1001 Buku, dan banyak lagi lainnya. Sayangnya, gaung acara-acara tersebut masih sangat minim dan kurang terdengar.

Sebenarnya ini merupakan langkah awal yang bagus. Tinggal bagaimana kita mengemasnya. Untuk itu diperlukan program kerja yang matang dan kepengelolaan yang profesional. Seperti menentukan target awal rumah baca tersebut, membuat program-program yang efektif dan menarik bagi target pengunjung, dan membentuk tim pengelola yang profesional. Apalagi jika bisa menjadikan rumah baca sebagai “tempat nongkrong” anak-anak sekolah, menggantikan posisi mall dan plaza. Dengan begitu rumah baca bisa menjadi salah satu solusi untuk mengembalikan minat baca anak-anak dan remaja. Seperti cahaya di tengah gelapnya dunia intelektualitas remaja. Ya, cahaya itu bernama rumah baca.

***


Share This
Subscribe Here

0 komentar:

Posting Komentar

Mitra Kami

Photobucket Photobucket Photobucket
 

Followers

Photobucket

Rumah Cahaya FLP Copyright © 2009 BeMagazine Blogger Template is Designed by Blogger Template
In Collaboration with fifa