Jumat, 12 Februari 2010

Merenovasi Mimpi Rumah Cahaya

Jumat sore, ketika langit kota Depok mulai dinaungi mendung, saya beserta anak dan istri melintas di jalan Keadilan Raya dengan Thunder merah. Bangunan berlantai dua yang tengah direnovasi itu tampak menjulang di kejauhan. Saya menepikan motor persis di seberang bangunan bernomor 13 di blok 16 jalan Keadilan Raya itu. Meski langit mulai kelabu, para pekerja masih belum meletakkan perkakasnya. “Targetnya bulan Pebruari, pembangunan selesai,” terang Hendra, pegawai Tabung Wakaf Indonesia (TWI), ketika kami bertemu Jumat, 13 Desember lalu.

Memandangi bangunan itu, ingatan saya berlari mundur ke tahun 2004 dan berhenti tepat di tanggal 22 Februari. Ketika Melvi Yendra—yang saat itu masih jadi redaktur di majalah Annida—mengajak saya bertemu di tempat itu. Ya, hari itu, perpustakaan Rumah Cahaya FLP resmi berdiri. Hari itu, saya bertemu penulis-penulis hebat seperti Asma Nadia, Pipiet Senja, Zainal Radar T., Azimah Rahayu, dan tentu saja Melvi Yendra yang sebelum hari itu nama mereka hanya bisa saya baca dalam sampul buku atau rubrik-rubrik di majalah Annida. Tidak terbayangkan sebelumnya, jika di kemudian hari saya mendapat amanah untuk mengelola tempat itu.

Selepas peresmian itu, saya nyaris tak pernah berkunjung ke tempat itu lagi. Perpustakaan itu lebih banyak dikunjungi anak-anak. Padahal, saya mengira di tempat itulah FLP Depok biasa mengadakan pertemuannya. Sebagai seorang penulis di majalah remaja, tentu ada keinginan saya untuk bisa menerbitkan buku di Lingkar Pena Publishing House (LPPH) yang saya tahu berkantor di Rumah Cahaya. Apa boleh buat, saya memang seorang pemalu. Bahkan setelah saya bertemu Mbak Asma di launching buku Diva karya pengarang paling produktif di FLP, Fahri Asiza, saya tetap tak cukup keberanian untuk menemui kru LPPH.

Sampai kemudian, Aveus Har, sahabat saya sesama penulis di majalah Aneka Yess!, bersama N’Dien, ketua FLP Pekalongan meminta saya mengantar mereka ke LPPH. Seingat saya, saat itulah mula pertama saya bercakap-cakap dengan Nanik Susanti, sebelum Mbak Asma yang sedang ada acara, datang menemui kami bersama Birulaut. Begitulah, jalan bagi saya untuk bisa menerbitkan buku di LPPH makin terbuka. Tawaran dari Mbak Nanik untuk menyerahkan cerpen-cerpen saya yang pernah dimuat di Aneka Yess! saya sambut. Sebulan kemudian saya datang kembali ke tempat itu untuk menyerahkan naskah novel saya, Edelweiss.

Namun, niat saya yang sesungguhnya adalah bisa bergabung dengan FLP Depok dan menimba ilmu dari para senior. Sayangnya, ketika itu FLP Depok tengah mati suri. Saya lupa kapan tepatnya, ketika Muktiar Selawati, sahabat saya sesame penulis Aneka yang datang bersama suaminya, meminta saya mengantarnya ke LPPH untuk menyerahkan naskah. Pada ketika itulah saya bertemu langsung dengan Koko Nata yang namanya tak asing lagi di telinga saya. Koko menceritakan rencana perekrutan anggota baru FLP Depok.

Akhir 2004, tepatnya di bulan Desember, Aceh diterjang Tsunami. Melalui email, Mbak Asma meminta saya menyebarkan poster acara galang dana di Taman Ismail Marzuki, selain juga meminta saya membantu Birulaut—yang belakangan saya kenal sebagai Bang Andi—mendekorasi panggung acara. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Saat itulah saya berkenalan dengan Hendra Veejay dan Ratno Fadillah serta Lian Kagura.

Singkat cerita, Februari 2005 saya resmi bergabung dengan FLP Depok. Namun, niat saya untuk menimba ilmu dari penulis-penulis senior rupanya masih harus saya pendam. Koko malah meminta saya menjadi salah seorang mentor di FLP Depok. Begitulah awal keterlibatan saya dengan FLP Depok. Sampai kemudian Leyla Imtichanah meminta saya membantu mengurusi Rumah Cahaya. Belakangan, saya malah diminta menjadi penanggung jawab Rumah Cahaya Depok. Dan saya pun tumbuh bersama tempat itu.

Cahaya di Rumah Cahaya mulai meredup, ketika saya harus menenggelamkan diri dalam rutinitas pekerjaan di Balai Pustaka dan LPPH yang mulai tumbuh besar memilih mencari tempat baru di akhir 2007. Selepas kepindahan LPPH, begitu banyak tawaran dari masyarakat yang berminat menyewa ruko di depan Rumah Cahaya yang selalu tutup itu. Namun, saya tak berani menerima tawaran itu, karena hingga cahaya itu mulai redup, saya belum juga mendapat kepastian mengenai status Rumah Cahaya terkait Dompet Duafa (DD). Bahkan, baru belakangan saya tahu, kalau bangunan di samping Rumah Cahaya yang digunakan sebagai rumah tinggal oleh tukang-tukang becak yang mangkal di depan Musi, merupakan aset Rumah Cahaya.

Usaha untuk menghubungkan Rumah Cahaya dengan DD bukan tak pernah kami lakukan. Jauh sebelumnya, beberapa kali kami bertemu dengan direktur TWI. Namun, di bulan ramadan tahun 2008-lah tali silaturrahmi yang sempat terputus kembali terhubung kembali. Ketika itu saya bersama Mba Dee, Dhinny, dan Hafi, memenuhi undangan TWI untuk menjernihkan masalah Rumah Cahaya. Pada acara itulah saya baru mengetahui bahwa selama ini belum pernah terjadi penandatanganan MoU antara DD dengan FLP terkait pemanfaatan bangunan wakaf untuk perpustakaan Rumah Cahaya. Padahal selama ini saya sering berkoar-koar bahwa DD telah melalaikan kewajibannya memberi dana operasional, karena begitu informasi yang saya dapat dari pendahulu kami di Rumah Cahaya.

Alhamdulillah, pertemuan itu berjalan dengan baik. Segala kesalahpahaman terselesaikan dengan bijak. Dan TWI mengemukakan rencana untuk merenovasi bangunan wakaf itu. Draf MoU pun telah disepakati di masa akhir kepengurusan Kang Irfan, hanya tinggal menunggu untuk ditandatangani oleh Pak Zaim Saidi (Dirut TWI) dan Mbak Izzatul Jannah (Katum FLP).

Rencana pembangunan ini sempat tertunda cukup lama. Baru pada awal ramadan tahun 2009 proses renovasi dilakukan. Sampai saat ini terhitung sudah 4 bulan renovasi berjalan. Rumah Cahaya yang baru samar-samar itu mulai menampakkan wujudnya.

Langit kota Depok makin kelabu, tetapi masa depan Rumah Cahaya akan secerah pagi di musim semi, insya Allah. Ia tak lagi jadi anak yang tak jelas siapa ayah bundanya. Kini Rumah Cahaya menjadi divisi di bawah koordinasi Sekretaris Jendral FLP yang dijabat oleh Rahmadianti.

Setelah mengambil gambar Rumah Cahaya, saya meninggalkan tempat itu bersama sebuah mimpi yang telah direnovasi. Mimpi baru untuk menebar cahaya bersama Rumah Cahaya melalui pena dan buku. Ah, tak sabar rasanya menjadikan tempat itu sebagai pusat dokumentasi dan informasi karya-karya FLP, selain juga menjadikannya pusat rekreasi dan edukasi bagi masyarakat sekitar, khususnya kaum duafa, sebelum mulai menata Rumah Cahaya yang ada di berbagai daerah. Semoga mimpi ini mendapat dukungan dari seluruh anggota FLP yang konon beranggotakan lebih dari 8000 orang. Amin.

Salam,
Denny Prabowo
Kapuas Dua, 18 Desember 2009
Share This
Subscribe Here

0 komentar:

Posting Komentar

Mitra Kami

Photobucket Photobucket Photobucket
 

Followers

Photobucket

Rumah Cahaya FLP Copyright © 2009 BeMagazine Blogger Template is Designed by Blogger Template
In Collaboration with fifa