Selasa, 06 Februari 2007

Meluncurkan Kupu-kupu Membedah Tambuli

Buku itu sudah berjam-jam ditunggu kedatangannya. Sebuah buku berjudul Kupu-kupu dan Tambuli. Para penulis buku itu tak sabar. Ingin tahu. Cerpen siapakah yang paling bagus di buku itu ?

Pertanyaan itulah yang terucap dari mulut beberapa peserta Peluncuran dan bedah buku antologi “Kupu-kupu dan Tambuli”, termasuk saya. Arul Khan, Beni Jusuf, Andi Biru Laut, Denny Prabowo, Jonru, Nurhadiansyah, Sakti Wibowo, Sokat, Taufan E. Praft, Zaenal Radar T dan saya sendiri, 11 dari 18 penulis buku, memadati Rumah Cahaya pada Minggu, 26 Pebruari 2006 untuk tahu, apa komentar komite DKJ terhadap cerpen-cerpen kami?

“Saya tidak punya kewajiban untuk memuji. Kalau saya datang ke sini untuk memuji, bukan saya yang rugi. Saya bisa memuji anda selama satu jam. Anda akan pulang dan tidur dengan nyenyak. Bukan saya yang rugi, tapi anda. Anda akan merasa sudah damai dan tentram. Seperti kisah telenovela dimana penjahatnya tertangkap dan si pahlawan hidup berbahagia selama-lamanya dengan gadis cantik jelita. Penonton akhirnya puas karena merasa kejahatan sudah berhasil ditumpas. Orang baik menang. Padahal di dunia nyata kejahatan merajalela sedangkan orang baik entah dimana. Dan masalah tidak dipecahkan,” ujar Agus R. Sardjono

“Kenapa saya tidak memuji ? Sebab terbitnya buku yang memuat cerpen anda ini adalah sebuah pujian tersendiri. Tidak semua orang, karyanya bisa diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dewan Kesenian Jakarta mempunyai tradisi yang panjang. Sebagai salah satu, jika bukan satu-satunya, center of excelent terhadap seni di Indonesia. Jika sebuah buku diterbitkan oleh center of excelent, maka tidak patut memuji lagi. Pujian hanyalah untuk orang-orang yang malas belajar, bukan untuk seorang calon pendekar. Seorang calon pendekar harus sering dikritik, agar ia rajin berlatih. Bila calon pendekar dipuji, ia akan besar kepala dan mati dalam pertempuran sebab ia besar kepala karena pujian. Bahkan yang lebih parah lagi, si calon pendekar yang dipuji bisa berani menatang guru padepokan lain. Padahal baru beberapa jurus saja, si calon pendekar sudah terkapar tak berdaya oleh guru padepokan lain tersebut. Jadi terbitnya buku ini sudah lebih dari cukup dari pujian,” ujar Mas Agus lagi.

Suasana senyap. Tak ada suara hanya tarikan napas yang kalah oleh bising suara kendaraan bermotor di luar. Semua penulis FLP terdiam, mencerna setiap suku kata yang dilontarkan oleh Mas Agus. Mungkin selama ini kami, kita, saya terlalu banyak makan pujian, sehingga kadang-kadang jadi sombong dan besar kepala.

“Pada satu tingkat tertentu semua cerpen ini baik. Jika dibandingkan dengan karya sastra lain di Indonesia, kualitasnya kurang lebih sama. Bukankah hebat, tuh hampir sama dengan seluruh karya sastra yang ada di koran. Tapi kalau kira-kira kualitasnya sama, DKJ tidak akan menerbitkan karya ini. Kami tidak suka dengan karya yang standarnya rata-rata. Sama. Buku ini adalah sebuah awal, bukan akhir. Jadi, ketika kami datang ke sini lagi beberapa tahun ke depan, anda semua harus sudah menulis di atas rata-rata dari kebanyakan karya sastra di Indonesia.”

Masih banyak nasehat yang diberikan oleh Mas Agus untuk kami. Hari itu saya bagaikan mendapatkan berton-ton harta karun untuk bekal hidup di dunia kepenulisan kemudian. Sungguh nasehat-nasehat itu meskipun menohok tapi mengena di hati. Nasehat itu adalah suplemen, vitamin, yang meskipun rasanya agak pahit tapi bisa membuat tubuh sehat dan kuat. (Koko Nata, Ketua Dept. Program Kegiatan)
Share This
Subscribe Here

0 komentar:

Posting Komentar

Mitra Kami

Photobucket Photobucket Photobucket
 

Followers

Photobucket

Rumah Cahaya FLP Copyright © 2009 BeMagazine Blogger Template is Designed by Blogger Template
In Collaboration with fifa