
Pertanyaan itulah yang terucap dari mulut beberapa peserta Peluncuran dan bedah buku antologi “Kupu-kupu dan Tambuli”, termasuk saya. Arul Khan, Beni Jusuf, Andi Biru Laut, Denny Prabowo, Jonru, Nurhadiansyah, Sakti Wibowo, Sokat, Taufan E. Praft, Zaenal Radar T dan saya sendiri, 11 dari 18 penulis buku, memadati Rumah Cahaya pada Minggu, 26 Pebruari 2006 untuk tahu, apa komentar komite DKJ terhadap cerpen-cerpen kami?

“Kenapa saya tidak memuji ? Sebab terbitnya buku yang memuat cerpen anda ini adalah sebuah pujian tersendiri. Tidak semua orang, karyanya bisa diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dewan Kesenian Jakarta mempunyai tradisi yang panjang. Sebagai salah satu, jika bukan satu-satunya, center of excelent terhadap seni di Indonesia. Jika sebuah buku diterbitkan oleh center of excelent, maka tidak patut memuji lagi. Pujian hanyalah untuk orang-orang yang malas belajar, bukan untuk seorang calon pendekar. Seorang calon pendekar harus sering dikritik, agar ia rajin berlatih. Bila calon pendekar dipuji, ia akan besar kepala dan mati dalam pertempuran sebab ia besar kepala karena pujian. Bahkan yang lebih parah lagi, si calon pendekar yang dipuji bisa berani menatang guru padepokan lain. Padahal baru beberapa jurus saja, si calon pendekar sudah terkapar tak berdaya oleh guru padepokan lain tersebut. Jadi terbitnya buku ini sudah lebih dari cukup dari pujian,” ujar Mas Agus lagi.

“Pada satu tingkat tertentu semua cerpen ini baik. Jika dibandingkan dengan karya sastra lain di Indonesia, kualitasnya kurang lebih sama. Bukankah hebat, tuh hampir sama dengan seluruh karya sastra yang ada di koran. Tapi kalau kira-kira kualitasnya sama, DKJ tidak akan menerbitkan karya ini. Kami tidak suka dengan karya yang standarnya rata-rata. Sama. Buku ini adalah sebuah awal, bukan akhir. Jadi, ketika kami datang ke sini lagi beberapa tahun ke depan, anda semua harus sudah menulis di atas rata-rata dari kebanyakan karya sastra di Indonesia.”

0 komentar:
Posting Komentar